Wednesday, May 18, 2011

Kehilangan Sahabatku

          Sejak kemenangan kami di lomba cerdas cermat itu, Lintang sudah beberapa hari tidak hadir. Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sudah sembilan tahun kami melewati hari-hari kami bersama-sama tak pernah ia bolos. Kami menduga pasti ada sesuatu yang sangat penting yang terjadi padanya. Ketika kami ingin mencari tahu, rumahnya terlalu jauh bagi kami untuk mencari berita.
        Hari Kamis, sudah genap empat hari Lintang tidak masuk sekolah. Hari-hari ini, aku selalu melamun memandangi kursi kosong disebelahku yang biasa ditempati Lintang. Kami sangat kehilangan dan cemas terhadap keadaannya yang tidak memberikan kabar sedikit pun. Aku sangat rindu pada temanku yang pintarnya melebihi Einstein itu. Kelas menjadi tak sama tanpa Lintang, tanpanya kelas kami terasa sepi dan kami merindukan jawaban-jawaban hebatnya saat di kelas. Kami juga rindu akan rambut acak-acakannya, sendal jeleknya, dan tas karungnya.
          Senin pagi, kami semua berharap untuk menghampiri rumah Lintang dengan senyum ceria dan kejutan-kejutan barunya, tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk menghampirinya, datanglah seorang lelaki kurus tak beralas kaki yang menyampaikan surat dari Lintang yang berbunyi, "Ibunda guru, ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang". Tetesan air mata Bu Mus jatuh membasahi surat tersebut. Kami semua merasa prihatin terhadapnya, karena Lintang masih kecil tetapi harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tidak berdaya. Lintang tidak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah 
          Di bawah pohon filicium, kami mengucapkan perpisahan dengan isak tangis yang begitu menjadi-jadi, karena kami harus kehilangan salah satu teman terbaik kami yang genius asli didikan alam. Seorang anak yang sangat ingin sekolah SD Muhammadiyah untuk menyekolahkan kami, yang ingin kami dan Bu Mus tabah dan tetap berjuang untuk menaiki martabat sekolah agar dapat dibanggakan. Seorang yang menginginkan semua ini dari awal, tetapi dia juga yang harus mengakhirinya terdahulu. Kami semua masih belum dapat merelakan kepergian Lintang. Aku sangat sedih karena teman terbaikku telah pergi meninggalkan kami semua. 
          Bagiku, Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan semangat yang terpancar dari hidupnya. Menangis, tertawa, dan duka telah kami jalani bersama-sama. Tapi tak ku sangka, dalam kesedihannya kali ini, aku tidak dapat membantunya. Ketika ia berjalan pergi meninggalkan kami dengan menggunakan sepeda, aku mengejarnya dan menangis karena tidak merelakannya pergi. Tapi apa boleh buat, itu adalah panggilannya, dan kami tidak dapat berbuat apa-apa untuk melawan takdir. Tapi satu yang kami percaya, kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.

Lomba Cerdas Cermat

          Hari ini adalah hari yang telah kami tunggu-tunggu setelah kemenangan kami pada hari karnaval tanggal 17 Agustus lalu. Kami telah dipersiapkan dengan baik oleh Ibu Mus untuk mengikuti perlombaan ini. Beliau telah menaruh harapan besar terhadap kami. Beliau berharap kami dapat memenangkan perlombaan cerdas cermat ini karena ia sudah bosan dihina dan ia ingin menaikkan martabat sekolah SD Muhammadiyah  yang sudah bertahun-tahun diremehkan. Selama mempersiapkan kami, Ibu Mus berpontang-panting mengumpulkan kami contoh-contoh soal dan bekerja sangat keras untuk melatih kami dari pagi sampai sore. Ibu Mus telah memilih tiga orang untuk mengikuti lomba cerdas cermat itu, di antaranya aku, Lintang, dan Sahara. Hari ini, aku telah duduk di depan meja perlombaan yang telah di sediakan bel agar kami dapat menekannya dulu sebelum menjawab. Sahara adalah orang yang mempunyai tugas untuk menekan bel itu, tapi kegugupan kami membuat kami semua menjadi orang yang bingung harus melakukan apa. Sekeras apapun Ibu Mus menguatkan kami, mental kami bertiga sudah lemah dan kami tetap menjadi gugup.
          Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang panjang, besar, indah, dan dingin. Seluruh teman-teman kami dan orang tua kami datang untuk menyemangati kami. Pendukung terbanyak adalah pendukung sekolah PN, mereka menggunakan seragam khusus dengan tulisan mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI, artinya AKU DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Anggota regu sekolah PN telah di seleksi secara ketat di sekolahnya, dan mereka adalah murid yang terbaik dari yang terbaik. Tiap pakaian anggota regu juga sangat berbeda. Mereka mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang seragam dengan celanan panjang berwarna serasi, dan mereka berdasi. Lomba ini dihadiri oleh Drs. Zulfikar, seorang guru teladan provinsi yang telah lulus dari fakultas MIPA, universitas negeri ternama. Ia adalah guru fisika yang sekarang mengajar di sekolah SD PN.
           Di antara pendukung-pendukung kami, ada Trapani dan ibunya yang saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar wanita yang berbisik-bisik sembari melihat ke Trapani. Semakin remaja, Trapani semakin tampan. Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kami, Trapani yang terpilih, skornya jauh lebih tinggi daripada skor Sahara, namun karena Sahara memiliki skor geografi yang tinggi, maka Trapani dengan lapang dada memberikan tempatnya dan memberinya kesempatan untuk Sahara. Trapani adalah pria yang tampan dan berjiwa besar.
          Perlombaan telah dimulai dengan kedatangan seorang wanita anggun yang bergaun jas cantik berwarna merah muda berdiri, Wanita itu yang membacakan soal-soal lomba kepada kami, pertanyaan pertama telah bergema, dan sebelum wanita itu menyelesaikan kalimatnya, bel telah berbunyi yang telah dibunyikan oleh Lintang, setelah ia menekan bel, ia langsung menjawab pertanyaan itu dengan lantang dan benar. Sudah banyak soal-soal yang dibacakan oleh wanita itu, dan tetap Lintang yang selalu menekan bel sebelum kalimat terselesaikan. Sampai pada tengah pertanyaan, Drs. Zulfikar merasa tidak terima karena murid seperti kami dapat menjawab soal-soal dengan lancar dan benar. Debat yang hebat terjadi di antara Drs. Zulfikar, Lintang, dan juri-juri yang berada disitu, sampai pada akhirnya Lintang memilih untuk menjelaskan semua yang ia ketahui tentang substansi cincin Newton yang diperdebatkan sedari tadi. Aku sangat bangga memiliki teman seperti Lintang, Ibu Mus pun tersenyum bangga kepada kami karena kami dapat memenangkan lomba ini dan dapat menaikkan martabat SD Muhammadiyah yang selalu diremehkan banyak orang.

Sunday, May 15, 2011

Cintaku di Toko Kelontong

          Memang menyenangkan ketika kita beranjak dewasa. Di sekolah pelajaran sudah mulai bermanfaat. Misalnya pelajaran membuat telur asin, menyemati biji sawi, membedah perut kodok, keterampilan menyulam, menata jamur, dan praktik memasak. Selain itu, kami juga sudah dapat berbicara bahasa Inggris walaupun masih terbata-bata. Menurutku, tugas yang paling menyenangkan yaitu pada saat kita belajar untuk menerjemahkan lagu lama yang berjudul "Have I Told You Lately That I Love You". Lagu ini mempunyai arti yang indah yang menceritakan tentang seorang anak muda yang benci sekali ketika disuruh gurunya membeli kapur tulis. Sampai pada suatu hari ketika ia berangkat dengan jengkel untuk membeli kapur tersebut, nasib telah menunggunya di pasar ikan dan menyergapnya tanpa ampun. 
          Bagiku, membeli kapur adalah salah satu tugas yang paling tidak menyenangkan selain menyiram bunga. Kami biasa membeli kapur di toko Sinar Harapan yang terletak di Belitong Timur yang letaknya sangat jauh dari sekolah kami. Untuk pergi kesana dibutuhkan orang yang kuat untuk mencium bau lobak asin, tauco, kanji, kerupuk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi, jengkol, kacang merah, dan berbagai bau darah ikan yang membuat daerah toko itu menjadi semakin berbau amis. Selain itu, jika kita masuk ke toko itu, maka baunya akan tercampur dengan mainan anak-anak, aroma kapur barus yang membuat mata berair, bau cat minyak, bau gaharu, bau sabun colek, bau obat nyamuk, dan bau tembakau lapuk yang terletak di atas rak besi yang sudah bertahun-tahun tidak laku dijual.
          Hari ini adalah giliranku dan Syahdan untuk membeli kapur. Kami naik sepeda dan membuat perjanjian bahwa saat berangkat ia akan memboncengku sampai ke sebuah kuburan Tionghua, dan setelah itu, aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Aku menaiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati dan menyesali tugas yang diberikan ini sepanjang perjalanan. Aku kesal karena rantai sepeda yang terlalu kencang yang membuat sepeda itu susah dan berat untuk dikayuh.
          Pembelian sekotak kapur adalah transaksi yang tidak penting sehingga pembelinya harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani pembeli lainnya. Sehingga dapat kuakui, aku menunggu cukup lama untuk dilayani. Setelah aku berkata kepada penjaga toko bahwa aku diminta Ibu Mus di Sekolah Muhammadiyah untuk mengambil kapur, penjaga toko tersebut berteriak kepada orang di belakang toko dengan maksud mengambilkan kami kapurnya. Seketika itu, terdengar suara lantang, nyaring, dan cepat seorang gadis kecil yang bersuara sangat merdu. Kotak kapur itu dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat. Setelah lama menunggu, akhirnya gadis itu mengeluarkan tangannya dari lubang kecil itu untuk memberikan sekotak kapur itu kepadaku. Gadis ini sangat misterius bagiku, ia tidak pernah berkata apa-apa kepadaku, melainkan hanya memberikan sekotak kapur dan menarik tangannya cepat-cepat. Sudah bertahun-tahun aku mencoba mencari tahu penampilan pemilik kuku indah tersebut, tapi tidak pernah berhasil. Bagi penjaga toko itu, kami hanyalah pelanggan yang tidak menguntungkan melainkan hanya merepotkan. Sampai pada suatu hari, aku menjatuhkan sekotak kapur yang sudah aku ambil dari tangannya, dan pada saat itu, gadis itu membuka tirainya dan kami dapat beradu pandang dekat sekali. Saat itu aku merasa jarum detik seluruh jam yang ada di dunia ini berhenti berdetak. Aku terpana dan merasa seperti melayang. Bau busuk toko itu seketika menjadi harum semerbak seperti minyak kesturi dalam botol-botol liliput. Selain itu, Syahdan yang biasanya terlihat jelek, menjadi seperti Nat King Cole.
          Aku berbalik meninggalkan toko itu dan merasa kehilangan seluruh bobot tubuh dan beban hidupku. Aku menghampiri sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda keranjang baru. Aku dihinggapi perasaan bahagia yang aneh, perasaan yang tidak pernah aku alami sebelumnya.   

Saturday, May 14, 2011

Hari Karnaval

          Hari ini adalah hari karnaval, Ibu Mus dan Pak Harfan menyuruh kami untuk melakukan pentas yang telah di persiapkan oleh Mahar beberapa minggu lamanya. Ketika mempersiapkan tarian, tiba-tiba Mahar berkata bahwa, "Di dalam tarian, ini kalian harus mengeluarkan seluruh energi dan harus tampak gembira. Bersuka cita seperti karyawan PN baru menerima jatah kain, seperti orang Sawang dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!" Aku sungguh kagum, dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu.? Setelah Mahar berkata begitu, Sahara memberitahukan bahwa itu adalah kata-kata perumpamaan.
          Mahar merancang pakaian untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga dua puluh adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti kucing dan rambutnya dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek. Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat putih mencolok. Dua puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, menggunakan penutup kepala berupa jalin besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan jubah berwarna merah. Selain itu, tampaknya Mahar telah memberi perhatian istimewa kepada delapan ekor sapi. Pakaian kami yang paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai ke bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah kami dilukis belang-belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda terbang dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing semarak. Kami juga memakai aksesoris yang indah, yaitu anting-anting, gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu, penutup kepala atau disebut dengan mahkota seribu rupa, dan kalung yang terbuat dari buah pohon aren yang bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau.
          Sesampainya kami di karnaval tersebut, acara yang pertama muncul yaitu marching band sekolah PN. Pakaian mereka dibedakan berdasarkan instrumen yang mereka mainkan. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan mengecatnya dengan warna kekuningan. Mereka seperti sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Ribuan penonton bertepuk tangan kagum, dan setelah mereka meninggalkan arena podium, Mahar dan tiga puluh pemain tabla berhamburan tak beraturan menguasai arena podium. Gerakan mereka mengagetkan. Tarian mereka yang sangat dinamis sehingga penonton pun terperanjat. Penonton terbelalak ketika menerima sajian musik etnik menghentak yang tak diduga-duga. 
          Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level tertinggi. Kami yang sebentar lagi akan tampil pada plot kedua, merasa sangat gentar menunggu aba-aba. Ketika aku dan teman-temanku sedang menunggu giliran, aku merasa sedikit aneh pada leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat warna telinga teman-temanku yang berubah menjadi warna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada, wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal. Dalam waktu singkat, rasa gatalku meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di seputar leher. Aku menyadari bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang menjadi mata kalung kami. Saat kita pentas, rasa gatal itu semakin menjadi, tapi apa boleh buat, aku tidak dapat berbuat apa-apa, karena menggaruk dapat merusak koreografi yang telah dibuat oleh Mahar. Cara untuk mengurangi rasa gatal yaitu dengan bergerak jumpalitan seperti orang lupa diri, berteriak, saling menerkam, saling mencakar, dan berguling-guling di tanah.
          Setelah 30 menit kami tampil, juri mengatakan bahwa kami telah mendobrak ide kreatif, tampil all out dan berhasil menginterpretasikan dengan sempurna sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan, dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan. Ini adalah sebuah penghargaan mereka terhadap seni. Oleh karena itu, juri tidak memiliki pilihan lain selain memberikan penghargaan penampil seni terbaik tahun ini kepada SD Muhammadiyah. Aku dan teman-temanku sangat bahagia ketika menerima penghargaan tersebut. Ibu Mus dan Pak Harfan pun sangat bangga kepada kami, terutama kepada Mahar yang telah luar biasa merancang koreografi serta pakaian-pakaian ini.

Friday, May 13, 2011

Hari Pertamaku

          Sebelum aku bercerita, aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Ikal, umurku 7 tahun. Aku hidup di keluarga yang sangat sederhana yang tinggal di kota Belitong. Aku tinggal bersama ayahku serta saudara-saudara kandungku. Ayahku seorang yang ramah. Ia berumur 47 tahun dan bekerja sebagai buruh tambang yang bergaji kecil untuk menyekolahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Selain itu, aku mempunyai tiga teman baik yang bernama Trapani, Kucai, dan Syahdan.
          Hari ini aku sangat senang karena akhirnya aku dapat bersekolah di sekolah SD Muhammadiyah. Sekolah itu dikepalai oleh bapak kepala sekolah yang bernama Bapak K.A. Harfan Efendy Noor serta guru yang mengajar kami bernama Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Hari ini perasaan kami semua bercampur aduk antara cemas, gentar, takut, dan senang. Hal itu disebabkan karena dibutuhkan minimal sepuluh murid untuk tetap dapat melanjutkan program pendidikan di sekolah ini, sedangkan disana hanya ada sembilan orang murid. Ibu Mus telah berkali-kali menghitung jumlah murid yang berada di bangku panjang tanpa memerhatikan keadaannya yang sudah mengeluarkan titik-titik keringat di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang dikenakannya. Aku juga merasa cemas karena melihat Ibu Mus cemas dan karena beban perasaan ayahku. Aku tahu bahwa ayah sedang gugup tentang pembayaran sekolah, dan lebih mudah menyerahkan aku pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar aku dapat membantu ekonomi keluarga. Oleh karena perasaan itu, aku sempat berpikir bahwa sebaiknya aku pulang dan melupakan keinginanku bersekolah. Tetapi perasaan gentar itu tidak hanya dirasakan oleh ayahku, Ibu Mus, dan aku. Melainkan semua wajah orangtua di depanku yang tidak yakin bahwa hanya dengan pendidikan SMP, kami mampu mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini, mereka semua berada di sekolah ini karena celaan aparat desa karena tidak menyekolahkan anak yang akan memerdekakan kami dari buta huruf.
          Kami memilih sekolah SD Muhammadiyah karena sekolah ini karena tiga hal. Pertama, sekolah ini tidak menetapkan iuran dalam bentuk apapun, para orangtua hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena mereka menganggap anak-anak mereka memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga kami harus mendapat pendidikan agama yang kuat. Ketiga, karena kami tidak diterima di sekolah mana pun.
          Guru-guru yang berada disana masih merasa cemas karena takut sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan pada orangtua merasa cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini, terperangkap dalam kecemasaan kalau-kalau kami tak jadi sekolah. Sembari menunggu satu murid lainnya, Ibu Mus dan Pak Harfan memutuskan untuk menunggu sampai jam 11 siang. Perasaan tegang, resah, dan sedih bercampur menjadi satu. Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan belum ada satu murid pun yang muncul untuk menyelamatkan sekolah itu serta menyelamatkan kami agar kami dapat bersekolah. Setelah bapak kepala sekolah akan memulai pidato tentang pembubaran sekolah, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang ibu yang sedang memanggil anaknya yang bernama Harun, kami pun langsung melihat ke arah orang itu yang berumur 15 tahun dan agak terbelakang mentalnya. Setelah itu, ibu dari Harun memutuskan untuk menyekolahkan Harun disana karena untuk ke SLB membutuhkan banyak biaya dan SLB hanya ada di pulau Bangka sedangkan kami di Belitong. Seketika, semua orang di tempat itu tersenyum lebar dan bahagia karena muridnya telah genap sepuluh orang yang artinya bahwa program pendidikan ini akan dilanjutkan dan kami dapat bersekolah.