Sejak kemenangan kami di lomba cerdas cermat itu, Lintang sudah beberapa hari tidak hadir. Ketika esoknya Lintang tak juga hadir, kami mulai khawatir. Sudah sembilan tahun kami melewati hari-hari kami bersama-sama tak pernah ia bolos. Kami menduga pasti ada sesuatu yang sangat penting yang terjadi padanya. Ketika kami ingin mencari tahu, rumahnya terlalu jauh bagi kami untuk mencari berita.
Hari Kamis, sudah genap empat hari Lintang tidak masuk sekolah. Hari-hari ini, aku selalu melamun memandangi kursi kosong disebelahku yang biasa ditempati Lintang. Kami sangat kehilangan dan cemas terhadap keadaannya yang tidak memberikan kabar sedikit pun. Aku sangat rindu pada temanku yang pintarnya melebihi Einstein itu. Kelas menjadi tak sama tanpa Lintang, tanpanya kelas kami terasa sepi dan kami merindukan jawaban-jawaban hebatnya saat di kelas. Kami juga rindu akan rambut acak-acakannya, sendal jeleknya, dan tas karungnya.
Senin pagi, kami semua berharap untuk menghampiri rumah Lintang dengan senyum ceria dan kejutan-kejutan barunya, tapi ia tak muncul juga. Ketika kami sedang berunding untuk menghampirinya, datanglah seorang lelaki kurus tak beralas kaki yang menyampaikan surat dari Lintang yang berbunyi, "Ibunda guru, ayahku telah meninggal, besok aku akan ke sekolah. Salamku, Lintang". Tetesan air mata Bu Mus jatuh membasahi surat tersebut. Kami semua merasa prihatin terhadapnya, karena Lintang masih kecil tetapi harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tidak berdaya. Lintang tidak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah
Di bawah pohon filicium, kami mengucapkan perpisahan dengan isak tangis yang begitu menjadi-jadi, karena kami harus kehilangan salah satu teman terbaik kami yang genius asli didikan alam. Seorang anak yang sangat ingin sekolah SD Muhammadiyah untuk menyekolahkan kami, yang ingin kami dan Bu Mus tabah dan tetap berjuang untuk menaiki martabat sekolah agar dapat dibanggakan. Seorang yang menginginkan semua ini dari awal, tetapi dia juga yang harus mengakhirinya terdahulu. Kami semua masih belum dapat merelakan kepergian Lintang. Aku sangat sedih karena teman terbaikku telah pergi meninggalkan kami semua.
Bagiku, Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan semangat yang terpancar dari hidupnya. Menangis, tertawa, dan duka telah kami jalani bersama-sama. Tapi tak ku sangka, dalam kesedihannya kali ini, aku tidak dapat membantunya. Ketika ia berjalan pergi meninggalkan kami dengan menggunakan sepeda, aku mengejarnya dan menangis karena tidak merelakannya pergi. Tapi apa boleh buat, itu adalah panggilannya, dan kami tidak dapat berbuat apa-apa untuk melawan takdir. Tapi satu yang kami percaya, kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan Tuhan.