Friday, May 13, 2011

Hari Pertamaku

          Sebelum aku bercerita, aku akan memperkenalkan diriku. Namaku Ikal, umurku 7 tahun. Aku hidup di keluarga yang sangat sederhana yang tinggal di kota Belitong. Aku tinggal bersama ayahku serta saudara-saudara kandungku. Ayahku seorang yang ramah. Ia berumur 47 tahun dan bekerja sebagai buruh tambang yang bergaji kecil untuk menyekolahkan anak laki-lakinya ke sekolah. Selain itu, aku mempunyai tiga teman baik yang bernama Trapani, Kucai, dan Syahdan.
          Hari ini aku sangat senang karena akhirnya aku dapat bersekolah di sekolah SD Muhammadiyah. Sekolah itu dikepalai oleh bapak kepala sekolah yang bernama Bapak K.A. Harfan Efendy Noor serta guru yang mengajar kami bernama Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Hari ini perasaan kami semua bercampur aduk antara cemas, gentar, takut, dan senang. Hal itu disebabkan karena dibutuhkan minimal sepuluh murid untuk tetap dapat melanjutkan program pendidikan di sekolah ini, sedangkan disana hanya ada sembilan orang murid. Ibu Mus telah berkali-kali menghitung jumlah murid yang berada di bangku panjang tanpa memerhatikan keadaannya yang sudah mengeluarkan titik-titik keringat di seputar hidungnya menghapus bedak tepung beras yang dikenakannya. Aku juga merasa cemas karena melihat Ibu Mus cemas dan karena beban perasaan ayahku. Aku tahu bahwa ayah sedang gugup tentang pembayaran sekolah, dan lebih mudah menyerahkan aku pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar aku dapat membantu ekonomi keluarga. Oleh karena perasaan itu, aku sempat berpikir bahwa sebaiknya aku pulang dan melupakan keinginanku bersekolah. Tetapi perasaan gentar itu tidak hanya dirasakan oleh ayahku, Ibu Mus, dan aku. Melainkan semua wajah orangtua di depanku yang tidak yakin bahwa hanya dengan pendidikan SMP, kami mampu mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini, mereka semua berada di sekolah ini karena celaan aparat desa karena tidak menyekolahkan anak yang akan memerdekakan kami dari buta huruf.
          Kami memilih sekolah SD Muhammadiyah karena sekolah ini karena tiga hal. Pertama, sekolah ini tidak menetapkan iuran dalam bentuk apapun, para orangtua hanya menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena mereka menganggap anak-anak mereka memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga kami harus mendapat pendidikan agama yang kuat. Ketiga, karena kami tidak diterima di sekolah mana pun.
          Guru-guru yang berada disana masih merasa cemas karena takut sekolah mereka akan tamat riwayatnya, sedangkan pada orangtua merasa cemas karena biaya, dan kami, sembilan anak-anak kecil ini, terperangkap dalam kecemasaan kalau-kalau kami tak jadi sekolah. Sembari menunggu satu murid lainnya, Ibu Mus dan Pak Harfan memutuskan untuk menunggu sampai jam 11 siang. Perasaan tegang, resah, dan sedih bercampur menjadi satu. Akhirnya, waktu habis karena telah pukul sebelas lewat lima dan belum ada satu murid pun yang muncul untuk menyelamatkan sekolah itu serta menyelamatkan kami agar kami dapat bersekolah. Setelah bapak kepala sekolah akan memulai pidato tentang pembubaran sekolah, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang ibu yang sedang memanggil anaknya yang bernama Harun, kami pun langsung melihat ke arah orang itu yang berumur 15 tahun dan agak terbelakang mentalnya. Setelah itu, ibu dari Harun memutuskan untuk menyekolahkan Harun disana karena untuk ke SLB membutuhkan banyak biaya dan SLB hanya ada di pulau Bangka sedangkan kami di Belitong. Seketika, semua orang di tempat itu tersenyum lebar dan bahagia karena muridnya telah genap sepuluh orang yang artinya bahwa program pendidikan ini akan dilanjutkan dan kami dapat bersekolah.

0 comments:

Post a Comment