Hari ini adalah hari karnaval, Ibu Mus dan Pak Harfan menyuruh kami untuk melakukan pentas yang telah di persiapkan oleh Mahar beberapa minggu lamanya. Ketika mempersiapkan tarian, tiba-tiba Mahar berkata bahwa, "Di dalam tarian, ini kalian harus mengeluarkan seluruh energi dan harus tampak gembira. Bersuka cita seperti karyawan PN baru menerima jatah kain, seperti orang Sawang dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!" Aku sungguh kagum, dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu.? Setelah Mahar berkata begitu, Sahara memberitahukan bahwa itu adalah kata-kata perumpamaan.
Mahar merancang pakaian untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga dua puluh adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti kucing dan rambutnya dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek. Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat putih mencolok. Dua puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, menggunakan penutup kepala berupa jalin besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan jubah berwarna merah. Selain itu, tampaknya Mahar telah memberi perhatian istimewa kepada delapan ekor sapi. Pakaian kami yang paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai ke bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah kami dilukis belang-belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda terbang dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing semarak. Kami juga memakai aksesoris yang indah, yaitu anting-anting, gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu, penutup kepala atau disebut dengan mahkota seribu rupa, dan kalung yang terbuat dari buah pohon aren yang bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau.
Sesampainya kami di karnaval tersebut, acara yang pertama muncul yaitu marching band sekolah PN. Pakaian mereka dibedakan berdasarkan instrumen yang mereka mainkan. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan mengecatnya dengan warna kekuningan. Mereka seperti sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Ribuan penonton bertepuk tangan kagum, dan setelah mereka meninggalkan arena podium, Mahar dan tiga puluh pemain tabla berhamburan tak beraturan menguasai arena podium. Gerakan mereka mengagetkan. Tarian mereka yang sangat dinamis sehingga penonton pun terperanjat. Penonton terbelalak ketika menerima sajian musik etnik menghentak yang tak diduga-duga.
Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level tertinggi. Kami yang sebentar lagi akan tampil pada plot kedua, merasa sangat gentar menunggu aba-aba. Ketika aku dan teman-temanku sedang menunggu giliran, aku merasa sedikit aneh pada leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat warna telinga teman-temanku yang berubah menjadi warna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada, wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal. Dalam waktu singkat, rasa gatalku meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di seputar leher. Aku menyadari bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang menjadi mata kalung kami. Saat kita pentas, rasa gatal itu semakin menjadi, tapi apa boleh buat, aku tidak dapat berbuat apa-apa, karena menggaruk dapat merusak koreografi yang telah dibuat oleh Mahar. Cara untuk mengurangi rasa gatal yaitu dengan bergerak jumpalitan seperti orang lupa diri, berteriak, saling menerkam, saling mencakar, dan berguling-guling di tanah.
Setelah 30 menit kami tampil, juri mengatakan bahwa kami telah mendobrak ide kreatif, tampil all out dan berhasil menginterpretasikan dengan sempurna sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan, dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan. Ini adalah sebuah penghargaan mereka terhadap seni. Oleh karena itu, juri tidak memiliki pilihan lain selain memberikan penghargaan penampil seni terbaik tahun ini kepada SD Muhammadiyah. Aku dan teman-temanku sangat bahagia ketika menerima penghargaan tersebut. Ibu Mus dan Pak Harfan pun sangat bangga kepada kami, terutama kepada Mahar yang telah luar biasa merancang koreografi serta pakaian-pakaian ini.
0 comments:
Post a Comment